Malam mulai merayap perlahan di Stasiun Bogor. Hujan gerimis yang turun sejak sore menyisakan jejak embun pada jendela kaca di peron. Suasana lengang, hanya ada beberapa penumpang yang menunggu kereta terakhir menuju Jakarta. Lampu-lampu stasiun yang kuning redup menciptakan bayangan panjang di sepanjang rel, mempertegas kesunyian malam itu.
Bram, seorang pemuda yang baru pulang kerja, duduk di bangku panjang peron dengan jaket tebalnya. Dia menunggu kereta malam, kereta terakhir yang akan membawanya pulang. Sesekali dia menguap, lalu menengok ke arah jam stasiun yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Sambil menunggu, Bram melihat ke arah rel di kejauhan. Ada yang aneh malam itu. Sejak tadi dia merasa seperti diawasi. Rasanya ada yang memperhatikannya, tapi setiap kali dia menoleh, peron kosong. Penumpang lain sibuk dengan urusan masing-masing, beberapa terlihat asyik dengan ponsel mereka, sementara yang lain sudah terlelap di bangku panjang.
Tak lama kemudian, terdengar deru kereta yang mendekat. Suara logam bergesekan dengan rel terdengar semakin dekat, hingga akhirnya kereta itu muncul dari balik tikungan, perlahan berhenti di depan peron. Bram berdiri, menatap rangkaian gerbong yang berhenti di depannya. Tapi ada sesuatu yang ganjil. Gerbong pertama… kosong. Padahal, ini adalah kereta terakhir, dan biasanya selalu penuh dengan penumpang yang pulang kerja.
Bram ragu sejenak. Dia melirik ke kanan dan kiri, berharap ada penumpang lain yang naik. Tapi anehnya, semua orang di peron seolah tak peduli. Mereka tetap duduk atau berdiri di tempat, seperti kereta yang baru saja datang tidak pernah ada. Bram mengernyitkan dahi, tapi akhirnya dia mengangkat bahu dan melangkah masuk ke dalam gerbong.
Gerbong itu sepi, tak ada penumpang lain. Kursi-kursi biru yang teratur berderet tampak bersih, tapi hening, seperti sudah lama tidak ada yang duduk di sana. Bram memilih duduk di dekat jendela, sambil memandangi stasiun yang mulai menjauh saat kereta perlahan bergerak.
Suara hujan yang menghantam atap kereta menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan. Bram mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka ponselnya, tapi sinyal lemah membuatnya tak bisa terhubung dengan internet. Dia menghela napas, lalu menatap keluar jendela.
Setelah beberapa saat, Bram mulai merasa ada yang tak beres. Kereta ini terlalu sepi. Tak ada suara langkah penumpang, tak ada obrolan, bahkan suara deru mesin terdengar jauh di belakang, seolah-olah gerbong ini terisolasi dari rangkaian kereta lainnya. Bram merasakan bulu kuduknya berdiri.
Lalu, sesuatu menarik perhatiannya. Dari pantulan jendela, dia melihat bayangan di belakangnya. Seorang penumpang, duduk dua baris di belakangnya. Bram menoleh cepat, tapi tak ada siapa pun di sana. Hanya deretan kursi kosong yang tersusun rapi.
Dia mengerutkan kening. “Mungkin cuma bayangan,” gumamnya sambil mencoba meyakinkan diri. Tapi perasaan itu tak kunjung hilang—perasaan bahwa dia tidak sendirian di gerbong ini.
Kereta melaju semakin cepat, melewati stasiun-stasiun kecil di sepanjang jalur Bogor-Jakarta. Di setiap stasiun, Bram berharap ada penumpang lain yang naik, tapi tidak ada. Gerbong itu tetap kosong, dan semakin lama, rasa sepi yang melingkupinya semakin menekan.
Setengah jam berlalu, Bram mulai gelisah. Ia merasa gerbong itu semakin aneh, seolah ada sesuatu yang bergerak di sudut-sudut matanya, tapi ketika dia menoleh, selalu tak ada apa-apa. Akhirnya, ketika kereta berhenti di salah satu stasiun kecil, Bram memutuskan untuk berpindah gerbong.
Dia berdiri dan berjalan menuju pintu antar gerbong, berharap gerbong berikutnya lebih ramai. Tapi saat dia membuka pintu dan melangkah masuk ke gerbong berikutnya, dia tertegun. Gerbong itu juga kosong, persis seperti gerbong sebelumnya. Sama sunyinya. Sama heningnya.
Perasaan takut mulai merayap dalam diri Bram. Dia melangkah lebih cepat, menuju gerbong berikutnya lagi. Namun setiap gerbong yang dia masuki… semuanya kosong. Tidak ada satu pun penumpang. Seolah-olah kereta ini hanya membawa dirinya seorang.
“Ini nggak mungkin,” Bram bergumam. Dia memutuskan untuk kembali ke tempat duduknya, tapi saat dia berbalik menuju pintu gerbong, sesuatu yang lain terjadi.
Pintu gerbong terbanting keras di belakangnya, menutup dengan sendirinya. Bram terkesiap, mundur beberapa langkah. Dadanya berdebar kencang. “Apa ini?” pikirnya panik.
Dari kejauhan, terdengar suara samar—seperti derap langkah kaki. Bram memutar badannya, menatap ke arah ujung gerbong yang kosong. Suara langkah itu semakin dekat, seolah ada yang berjalan mendekat dari gerbong di belakangnya.
Dia meraih gagang pintu, berusaha membukanya, tapi pintu itu tak mau bergerak. “Sial! Buka!” teriaknya, menarik pintu dengan sekuat tenaga. Langkah kaki itu semakin dekat, semakin nyata.
Tiba-tiba, lampu di dalam gerbong berkedip-kedip, menyala dan padam tak beraturan. Bayangan-bayangan hitam di sudut-sudut ruangan tampak bergerak cepat, seakan-akan sesuatu sedang bermain-main di sana. Bram menoleh panik, tapi langkah kaki itu berhenti tepat di belakangnya.
Dia menahan napas. Dengan gemetar, dia perlahan berbalik. Tak ada siapa pun.
Namun, di kursi tempat dia tadi duduk, ada seseorang… atau sesuatu. Sosok berbalut jaket hitam lusuh, duduk membelakanginya, rambut panjang acak-acakan menutupi wajahnya. Sosok itu tampak membungkuk, seperti menunggu sesuatu. Bram menelan ludah, kakinya serasa lemas.
“K-kamu siapa?” Bram memberanikan diri bertanya dengan suara gemetar. Tapi sosok itu tak bergerak. Tak menjawab. Hanya duduk diam.
Tanpa berpikir panjang, Bram lari ke arah pintu lain, mencoba membuka paksa. Saat pintu akhirnya terbuka, dia melompat keluar, mengabaikan hujan yang masih turun deras di luar. Bram berlari sekuat tenaga ke arah peron stasiun terdekat yang baru saja dilewati kereta.
Sesampainya di stasiun, dia terengah-engah, menatap ke belakang. Kereta itu… hilang. Menghilang begitu saja di tengah gelapnya malam. Tak ada jejak, tak ada bunyi klakson atau deru mesin. Hanya hujan yang tersisa, membasahi tubuhnya yang gemetar.
Di stasiun yang sepi itu, Bram hanya bisa terduduk. Ia menyadari, mungkin kereta yang ia tumpangi tadi bukan kereta biasa. Dan gerbong kosong itu… bukan tempat bagi orang-orang seperti dia.