Peron Stasiun Angke yang Tak Pernah Sepi

0
(0)
Stasiun Angke
Stasiun Angke

Malam itu, hujan deras mengguyur Stasiun Angke. Peron terlihat kosong, kecuali satu bangku kayu tua yang letaknya tepat di depan loket tiket yang sudah tutup sejak sore. Lampu-lampu kuning yang pudar menambah kesan suram, berkilau dalam tetesan air yang memantul dari atap stasiun. Jam menunjukkan pukul 11 malam, dan kereta terakhir baru saja berlalu. Namun, herannya, stasiun tidak pernah benar-benar sepi.

“Peron ini punya cerita, kamu harus hati-hati.” Itulah peringatan yang kerap disampaikan oleh petugas senior kepada Iwan, penjaga malam baru di Stasiun Angke. Bagi Iwan, cerita itu tak lebih dari sekadar lelucon untuk menakut-nakuti pegawai baru. Ia adalah tipe orang yang tak mudah percaya dengan hal-hal mistis.

Malam itu, Iwan duduk di ruang penjaga dengan secangkir kopi di tangan, menatap layar CCTV yang menampilkan sudut-sudut peron. Peron terlihat kosong, sama seperti beberapa malam sebelumnya. “Peron yang tak pernah sepi,” batinnya sambil terkekeh. Lelucon itu terasa sangat ironis di tengah keheningan.

Namun, saat jam mendekati tengah malam, Iwan melihat sesuatu di layar CCTV. Ada sosok yang berjalan di peron, seorang wanita dengan payung putih. Dia tampak melangkah pelan, menyusuri sepanjang peron dengan tenang, meskipun tidak ada kereta yang akan datang. Iwan mengerutkan kening, merasa aneh. “Siapa yang masih di sini malam-malam begini?” gumamnya sambil berdiri dan memutuskan untuk memeriksa.

Dia berjalan cepat menuju peron, tapi begitu sampai, tak ada siapa pun. Bangku kayu yang dilihatnya dari CCTV masih kosong, hujan masih mengguyur, dan tidak ada jejak wanita itu. Iwan merasa bingung, memandang ke segala arah, tapi sosok itu seolah hilang begitu saja.

Baca Juga:  Sepeda Rongsok dan Jembatan Angker

“Ah, mungkin cuma pantulan cahaya atau bayangan,” katanya pada diri sendiri sambil berbalik untuk kembali ke ruang penjaga.

Namun, begitu dia melangkah masuk ke ruangannya, sosok itu muncul lagi di layar CCTV—wanita dengan payung putih, berdiri di peron yang sama, menghadap ke arah rel. Jantung Iwan berdegup lebih kencang. Rasa penasaran berubah menjadi cemas. “Apa-apaan ini?” bisiknya.

Dia keluar lagi, kali ini dengan lebih hati-hati, matanya memindai seluruh peron. Namun, tidak ada siapa-siapa.

Merasa ada yang tidak beres, Iwan kembali ke ruang penjaga dan memutuskan untuk membiarkan hal itu berlalu. “Mungkin cuma kecapekan,” gumamnya sambil mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Tapi, tak sampai lima menit, di layar CCTV tampak gerakan lain. Kali ini bukan hanya satu orang, melainkan sekelompok orang. Lima… enam orang. Mereka berjalan di peron, beberapa duduk di bangku kayu, yang lainnya berdiri berdekatan di sudut peron.

Keringat dingin mulai mengucur di punggung Iwan. Apa yang terjadi? Stasiun ini sudah tutup, dan tak ada lagi penumpang yang seharusnya berada di sini.

Iwan keluar sekali lagi, dan tentu saja, peron itu kosong seperti sebelumnya. Dia berusaha keras berpikir logis, tetapi setiap kali dia kembali ke ruang penjaga, layar CCTV menunjukkan hal yang berbeda. Kali ini, ada seorang pria tua yang tampak seperti pedagang kaki lima, mendorong gerobak kecil melintasi peron. Di sudut lain, seorang anak kecil duduk sendirian, menatap ke arah rel.

Baca Juga:  Gerobak Tahu dan Penunggu Malam

Puncaknya terjadi ketika di layar CCTV, dia melihat seorang pria berseragam petugas stasiun berdiri di ujung peron, tepat di bawah lampu yang berkedip-kedip. Pria itu menatap tajam ke arah kamera, senyum lebar menghiasi wajahnya. Iwan tersentak. Dia tidak pernah melihat petugas lain yang bekerja malam ini.

Dengan jantung berdebar, Iwan memutuskan untuk keluar sekali lagi, kali ini lebih perlahan. Dia mendekati area di mana sosok-sosok itu terlihat di CCTV. Tapi saat dia tiba di sana, peron tetap sunyi. Dia berdiri di bawah lampu berkedip, melihat sekelilingnya.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di belakangnya.

Iwan menoleh cepat, tapi tidak ada siapa-siapa. Langkah kaki itu berhenti, namun kemudian terdengar lagi, kali ini dari arah yang berlawanan. Iwan memutar tubuhnya, tapi tetap saja, tidak ada yang terlihat. Keringat dingin makin deras mengalir. Seolah-olah suara langkah kaki itu mengejeknya.

Dengan gugup, Iwan kembali ke ruang penjaga, berharap tidak ada lagi yang aneh. Tapi begitu dia duduk, sosok pria berseragam yang tadi ada di CCTV kini berdiri di depan pintu ruangannya. Senyum lebar itu masih di sana. Mata pria itu tidak pernah berkedip, menatap lurus ke arah Iwan.

Iwan tersentak dan bangkit dari kursinya. “Siapa kamu?!” teriaknya dengan suara gemetar.

Pria itu tidak menjawab. Dia hanya mengulurkan tangan, perlahan membuka pintu ruang penjaga. Iwan mundur, tubuhnya gemetar hebat. Tapi tiba-tiba, pria itu menghilang begitu saja. Tidak ada suara, tidak ada bayangan, seolah-olah dia tidak pernah ada.

Baca Juga:  Petak Umpet dengan Penghuni Gaib

Iwan terdiam, bingung antara ketakutan dan kelegaan. Perlahan, dia duduk kembali di kursinya. Detak jantungnya masih berdentum kencang, tapi setidaknya pria itu hilang. Dengan napas yang masih tersengal-sengal, Iwan mencoba memulihkan dirinya. “Sudah cukup untuk malam ini,” gumamnya.

Baru saja dia merasa tenang, ponselnya berbunyi. Itu pesan dari petugas senior yang biasa bertugas pagi. Pesannya singkat:
“Waspadalah, kalau kamu melihat pria berseragam stasiun, jangan sampai kamu berbicara dengannya. Dia bukan petugas stasiun.”

Iwan menelan ludah, jantungnya seperti hendak meledak. Ia memandang layar CCTV sekali lagi, dan kali ini, peron itu terlihat benar-benar kosong. Tapi entah kenapa, justru keheningan itulah yang membuat suasana makin mencekam.

Dan saat dia memutuskan untuk pulang lebih awal, terdengar suara dari belakangnya. “Kamu yakin mau pulang sekarang?”

Iwan berbalik cepat, dan di depan pintu, pria berseragam stasiun itu berdiri lagi, dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

This Post Has One Comment

Leave a Reply